Cari Blog Ini

Selasa, 06 Desember 2011

AKU DAN RENJANA

Aku menatap matahari senja yang membiaskan warna jingga diatas hamparan jalanan beraspal, ketika terlintas seraut wajah manis dalam memori otak tuaku. Seraut wajah yang pernah begitu lekat dalam hari-hariku, seraut wajah yang dulu selalu muncul dalam setiap mata mimpiku jika kantuk menyerang, seraut wajah yang mungkin hampir setiap detik selalu memenuhi denyut jagad raya jiwaku, dahulu berpuluh tahun yang lalu.
“Masih ingat aku, Han?!?!”, ceracau tanyamu ditelepon selular ku suatu ketika.
Aku terkejut dan hampir tidak percaya dengan pendengaranku kala itu, setelah kamu mengulang tanya yang sama, baru aku percaya, ternyata ceracau tanya itu, benar suaramu.
“Dua puluh tahun Aida??? Kamu tahu nomer teleponku dari siapa???”, aku bertanya balik padamu.
Tapi kamu tidak menjawab tanyaku, hanya desah napas mu yang terdengar, lama kamu terdiam, desah napas mu semakin jelas terdengar dari teleponku, yang membuat memori benakku seperti teraduk-aduk, untuk kembali mengingat kejadian silam, ketika desah napas mu menciptakan geletar-geletar aneh diseluruh jagad raya tubuh muda ku. Aku tak begitu ingat, ketika geletar-geletar aneh itu mendesak semua rasa dalam jagad raya tubuhku untuk melakukan kama itu. Yang aku ingat hanya tubuh telanjangku mendekap erat setubuh indahmu yang diguncang isak pelan dibawah kusut selimut bernoda.
“Maafkan aku Aida, aku mencintaimu...”, bisikku mencoba mendamaikan hatimu setelah kama itu terjadi.
Kala itu aku berjanji padamu bahwa aku akan mempertanggu-jawabkan kama yang telah aku lakukan tersebut, aku berjanji dengan hati kecilku.
“Aku begitu merindukanmu, apa kau pernah merindukanku, Han???”, kembali ceracau tanyamu dan membuyarkan lamunanku.
Rindu...!!! kamu begitu merindukanku katamu, ahh.... benarkah kamu begitu merindukanku??? Dan apakah aku pernah merindukanmu tanyamu??? Kata-kata itu mungkin telah menguap bersama embun pagi yang telah diterpa panas mentarai bertahun-tahun lalu.
“Aida, aku sudah tidak punya hak lagi untuk merindukanmu..”, jawabku.
“Mengapa Han??? Apa kau masih marah?!?!”, tanyamu pelan.
Marah?!?!? Mungkin benar aku masih marah, marah akan keegoisan diriku, marah akan diriku yang telah membuat dirimu terkurung kama, marah akan diriku yang telah menjadi pecundang sejati.
“Kau memalukan trah keluarga, Burhan!!! Ayah malu beranak kau!!! Ayah tidak akan marah besar jika kau membuntingi seribu anak perawan orang, Han!!! Tapi kenapa musti anak perawan si Mursidan keparat itu yang kau buntingi, hah!!!!”, ayahku marah besar ketika aku mengatakan akan bertanggung-jawab terhadap kama yang telah aku lakukan padamu, Aida.
Ayahku adalah musuh besar Abimu Aida, mereka berseteru abadi walaupun mereka bersaudara kandung, hubungan darah mereka terputus hanya karena masalah warisan yang mereka perebutkan.
“Han, apa yang kau harap dariku, kau tahukan jika paman dan abiku bermusuhan??? mereka sama-sama keras, Han..”, katamu ketika ketika pertama kali aku menyatakan cinta padamu.
Tetapi cintalah yang menyatukan kijadita, Aida... walau cinta kita musti bersembunyi dari semua, hingga kama itu terjadi. Kama yang yang membuat perseteruan abadi Ayahku dan Abimu menuai babak baru yang sangat riskan.. Aku ingat ketika harus memilih antar keinginan ayahku agar aku pergi meninggalkan rumah atau tetap tinggal tetapi harus menikahi perempuan lain. Dan aku tidak punya pilihan lain kala itu, Aida,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar