Cari Blog Ini

Selasa, 06 Desember 2011

Warisan Budaya Etnis Bugis di Desa Labuhan Mapin Kecamatan Alas Barat Kabupaten Sumbawa

BAB I
PENDAHULUAN
Dengan berlayar menggunakan perahu Lambo atau sejenis perahu layar kecil, etnis Bugis yang bermukim di Desa Labuhan Mapin Kecamatan Alas Barat kabupaten Sumbawa diperkirakan tiba di pesisir utara bagian barat Pulau Sumbawa sekitar tahun 1920-an. Ini merupakan gelombang pertama kedatangan orang-orang Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin, bermula hanya dengan beberapa kepala keluarga yang memang merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Gelombang kedua kedatangan orang-orang Bugis di desa Labuhan Mapin adalah tahun 1940-an, gelombang kedua ini merupakan orang-orang Bugis yang eksodus karena kekacauan yang terjadi di Sulawesi Selatan akibat pemberontakan DI/TII pimpinan KAHAR MUZAKKAR. Ada beberapa anggapan yang mengatakan bahwa orang-orang Bugis yang datang pada gelombang kedua di Pulau Sumbawa pada umumnya adalah orang-orang yang lari dari kewajiban dalam mempertahankan tanah kelahirannya di Sulawesi Selatan dan dicap sebagai orang-orang pengecut. Terlepas dari anggapan negatif diatas, sebenarnya etnis Bugis yang khususnya ada di Desa Labuhan Mapin telah membentuk sebuah sub etnik Bugis yang unik dari asal mereka di Sulawesi Selatan.

Selain etnis Bugis, di Desa Labuhan Mapin juga ada etnis-etnis lain yang berasal dari Sulawesi Selatan diantaranya etnis , Makassar dan Mandar. Keberagaman etnik ini sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter unik dari etnis Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin. Selain itu ada juga pengaruh yang terakomodasi dari kultur budaya etnis Sumbawa. Ada beberapa hal yang membentuk keunikan karakter ini, seperti bahasa, perkawinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Etnis Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin dewasa ini telah berevolusi menjadi sebuah etnis yang unik di antara semua etnis Bugis di pulau Sumbawa.

BAB II
B A H A S A
Dari segi bahasa, orang-orang Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin memiliki bahasa Bugis yang unik. pertama ada beberapa kata-kata yang terjadi dari asimilasi dengan bahasa Sumbawa. Kata-kata ini tidak akan kita temukan dalam bahasa Bugis yang ada di Sulawesi Selatan. Contohnya kata 'Ampò' yang diambil dari bahasa Sumbawa dan berarti lagi. Orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin telah mentransfer kata ini menjadi bahasa Bugis dengan arti yang sama dari bahasa asalnya. Tetapi di Sulawesi Selatan kata ini akan berbeda arti, kata 'Ampo' yang digunakan oleh orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan berarti hambur atau tebar. Kedua pembentukan dialek, etnis Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin mempunyai dialek yang sangat unik. Pada umumnya etnis Bugis yang tersebar di pulau Sumbawa masih tetap memakai dialek asli yang mereka bawa dari Sulawesi Selatan. Tetapi di Desa Labuhan Mapin karena keberagaman etnis yang ada, orang Bugis disini telah membentuk dialek tersendiri karena asimilasi dengan dialek etnik lain yang ada. Di Desa Labuhan Mapin semua etnis memakai bahasanya masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hidup bermasyarakat, warga Desa Labuhan Mapin yang terdiri dari berbagai etnis ini berkomunikasi juga dengan memakai bahasanya masing-masing. Orang luar akan heran jika melihat orang Bugis yang menggunakan bahasa Bugis sedang melakukan contohnya sebuah transaksi dengan orang Selayar yang menggunakan bahasa Selayar. Di Desa Labuhan Mapin ada sebuah aturan tidak tertulis yang mengharuskan semua warga yang berlainan etnis ini harus bisa atau minimal mengerti semua bahasa yang ada di Desa Labuhan Mapin.

Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya sebuah perkawinan dan terbentuknya sebuah bahasa dan dialek yang unik. Dialek ini tidak akan kita temui pada etnis Bugis lain yang tersebar di pulau Sumbawa. Etnis Bugis yang ada di daerah bagian timur pulau Sumbawa terkadang tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh orang Bugis di Desa Labuhan Mapin jika mereka menggunakan bahasa Bugis yang diselingi dengan bahasa Selayar, bahasa Bira ataupun bahasa Bajo.



BAB III
PERKAWINAN DAN KEHORMATAN
Perkawinan adalah sumbu tempat berputarnya seluruh hidup kemasyarakatan [Geurtjens dalam : Uit een vreemde wereld]. Sebuah perkawinan adalah ritual yang sangat sakral bagi semua manusia. Orang-orang Bugis percaya bahwa sebelum seseorang memasuki sebuah perkawinan, maka harus mengerti makna dari pepatah ini "Kumu'ulleni Malliburiki Dapurèngnge Bekke Pitu, Abbahineno" artinya jika anda mampu mengelilingi sebuah dapur sebanyak tujuh kali berarti anda sudah bisa menikah. Secara harfiah arti pepatah diatas begitu gampang sekali dalam melakukannya. Untuk mengelilingi sebuah dapur sebanyak tujuh kali, semua orang bahkan anak kecil sekalipun akan mampu melakukan. Orang-orang Bugis percaya dengan pepatah diatas yang menurut mereka sangat sarat dengan makna tentang arti sebuah perkawinan dan bagaimana membina rumah tangga yang baik. Dalam pemikiran orang-orang Bugis, dalam sebuah dapur banyak sekali benda atau hal-hal yang mengindikasikan tentang arti sebuah perkawinan. Sebuah panci tidak akan maksimal fungsinya untuk memasak jika tidak digunakan bersama sebuah tungku atau kompor. Sebuah tungku atau kompor tidak akan bisa dipakai memasak apabila tidak menggunakan bahan bakar, hal ini merupakan sebuah perumpamaan bahwa tanpa adanya kerjasama sebuah perkawinan tidak akan bisa terwujud. Sebuah perkawinan tidak akan terwujud tanpa adanya kerjasama antara seorang suami dan seorang istri. Seorang suami yang merupakan kepala rumah tangga tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya jika seorang istri tidak mendukung suaminya dalam menjalankan kehidupan berumah tangganya. Sebuah perkawinan diibaratkan seperti bermacam bumbu-bumbu masak yang ada di dapur. Cabai yang rasanya pedas, garam yang asin, gula yang sangat manis, asam, merica dan semuanya berbeda rasa. Tetapi ditangan seorang koki atau juru masak yang handal, bumbu-bumbu dapur yang berlainan rasa dan aroma ini bisa menjadi penyedap rasa sebuah makanan yang enak dimakan jika diramu dengan baik sesuai ukuran dan dan resep. Perkawinan adalah bersatunya dua individu yang berbeda jenis dan karakter dan apabila tidak diramu dengan baik maka tidak akan bisa menjadi sebuah rumah tangga yang bagus, sama seperti bumbu-bumbu dapur tersebut.

Dalam sebuah perkawinan kadang terjadi perselisihan kecil

Masalah perkawinan pada orang-orang Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin sekarang ini sebenarnya cukup fleksibel. Namun masih ada sebagian orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin menginginkan keturunan mereka menikah hanya dengan orang yang berasal dari etnis Bugis juga. Tetapi karena perubahan jaman dan keberagaman etnis yang ada, telah banyak perkawinan antar etnis yang terjadi. Selain etnis-etnis yang berasal dari Sulawesi Selatan dan etnis pribumi Sumbawa, ada juga etnis-etnis lain yang berasal dari Jawa, Madura, Lombok, Bima, Flores, bahkan etnis Arab dan Tionghoa yang telah berasimilasi di Desa Labuhan Mapin. Sekali lagi keberagaman etnis ini telah membentuk suatu karakter yang unik bagi perkembangan budaya orang-orang Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin. Pada proses sebuah perkawinan, orang-orang Bugis disini, selain masih memegang adat yang mereka bawa dari Sulawesi Selatan juga telah mengadopsi beberapa budaya dalam proses sebuah perkawinan dari etnis lain yang ada di Desa Labuhan Mapin.

Prosesi awal dari sebuah perkawinan dimulai dengan peminangan dari pihak keluarga calon mempelai pria kepada keluarga calon mempelai wanita. Prosesi ini disebut dengan 'Massuro' atau 'Madduta', disini keluarga calon mempelai pria akan mengutus perwakilan yang akan menanyakan kesediaan keluarga calon mempelai wanita apa akan menerima pinangan ini. Dalam tahap ini keluarga calon mempelai wanita akan menentukan berapa mahar yang harus diberikan oleh pihak keluarga calon mempelai pria. Jika mahar yang disebutkan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita dirasakan berat. maka pihak keluarga calon mempelai pria akan mengadakan negosiasi dan minta waktu untuk merundingkan hal ini dengan semua keluarga calon mempelai pria. Dan jika terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak. maka keluarga calon mempelai pria akan menanyakan ketetapan waktu pelaksanaan perkawinan ini. Prosesi selanjutnya adalah 'Mappaendré Balanca', prosesi yang diakomodasi dari budaya etnis Selayar ini adalah penyerahan mahar yang telah disepakati bersama oleh pihak keluarga calon mempelai pria kepada pihak keluarga calon mempelai wanita pada saat prosesi Mèttè. Setelah Prosesi ini akan ada waktu jeda biasanya selama lima sampai tujuh hari bagi kedua pihak untuk mempersiapkan proses perkawinan ini. Pada jaman dahulu seorang calon mempelai wanita akan mulai dipingit keluarganya jika prosesi ' Mèttè ' telah dilakukan. Calon mempelai wanita akan diberitahu bahwa dia telah dipinang dan tidak boleh lagi keluar rumah sampai proses perkawinan selesai. Biasanya calon mempelai wanita akan menangis setelah diberitahu, dan ini juga merupakan suatu bagian dari proses perkawinan yang disebut 'Difauang'. Jika calon Mempelai wanita tidak menangis atau berpura-pura menangis, maka bibi-bibi, saudara-saudara perempuan dan teman-teman wanita calon mempelai wanita akan mencubitinya sampai calon mempelai wanita ini benar-benar akan menangis. Dewasa ini prosesi 'Difauang' sudah tidak ada lagi, karena perubahan jaman. Sekarang seorang gadis sudah tidak dipingit lagi jika sudah ada yang meminang. Dalam waktu jeda lima sampai tujuh hari ini, banyak prosesi yang dilakukan oleh kedua keluarga pihak calon mempelai. Saat ini ada beberapa orang Bugis yang mengadopsi prosesi budaya dari etnis Sumbawa disebut 'Tokal Mesà' yang berarti 'Duduk sendiri', prosesi ini dilakukan oleh pihak keluarga mempelai pria dengan mengadakan resepsi atau walimah tanpa didampingi oleh mempelai wanita. Prosesi ini hanya merupakan acara simbolik, akan tetapi dalam prosesi ini unsur budaya sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Prosesi yang utama adalah ditempat calon mempelai wanita. Sehari sebelum prosesi akad nikah dilakukan, calon mempelai wanita akan mengadakan prosesi 'Mappacci'. Prosesi ini dilakukan dengan memberi tanda pada kedua telapak tangan calon mempelai wanita dengan menggunakan daun pacar atau inai oleh semua anggota keluarga calon mempelai wanita. Maksud dari prosesi ini adalah dengan memberi tanda pada kedua telapak tangan calon mempelai wanita, berarti semua anggota keluarga telah merestui dan rela melepaskan calon mempelai wanita dalam menempuh kehidupan barunya nanti sebagai seorang istri. Biasanya setelah prosesi ini selesai, para gadis remaja akan berebutan mengambil sisa inai untuk mereka gunakan di kuku atau telapak tangan mereka supaya cepat mendapat jodoh juga. Dewasa ini prosesi Mappacci sudah jarang dilakukan dan digantikan dengan prosesi 'Màbbembeng' yang diadopsi dari budaya etnis Selayar.

Pada hari akan dilakukan prosesi akad nikah, calon mempelai pria akan berangkat dari rumahnya menuju rumah calon mempelai wanita dengan iring-iringan dari semua keluarga, sanak saudara dan rekan-rekan calon mempelai pria. Setiba di rumah calon mempelai wanita, rombongan calon mempelai pria ini akan disambut oleh calon mertua dengan siraman beras. Siraman ini melambangkan semoga calon mempelai pria mampu memakmurkan keluarganya kelak. Sebelum prosesi akad nikah dimulai biasanya, mempelai wanita akan mengadakan prosesi Mappa'andretèmmè atau prosesi 'Khatam Al-Qur'an' dahulu dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an secara bergiliran oleh semua yang hadir. Dan dilanjutkan dengan pembacaan ijab kabul. Setelah prosesi pengucapan ijab kabul selesai, kedua mempelai akan melakukan sungkem pada semua anggota keluarga mempelai wanita. Kemudian mempelai wanita akan dimasukkan ke dalam kamar oleh Indò Botting yang akan menjaga ketat pintu kamar. Pada jaman dahulu mempelai wanita akan dimasukkan kedalam sebuah ranjang yang tertutup kelambu tebal. karena pergeseran jaman, fungsi ranjang yang berkelambu tebal ini digantikan oleh kamar. Rombongan pengantar mempelai pria akan berusaha membuka pintu kamar yang dijaga ketat oleh Indò Botting. Pintu kamar baru akan terbuka jika rombongan pengantar mempelai pria memberikan banyak saweran pada Indò Botting. Disini kadang terjadi kerusuhan kecil dan kehebohan yang akan mengundang tawa akibat saling dorong pintu antara rombongan pengantar mempelai pria dengan Indò Botting yang mati-matian mempertahankan pintu tetap tertutup jika saweran yang diterima belum cukup banyak. Setelah pintu kamar berhasil dibuka, kedua mempelai akan duduk berdampingan dan segera melakukan prosesi Mappasiduka. Prosesi ini hanya merupakan acara simbolik saja, dimana mempelai pria secara resmi menyentuh mempelai wanita yang telah dinikahinya dengan menyentuh kening mempelai wanita yang berarti bahwa mempelai pria akan setia dan bertanggung jawab sebagai suami. Kemudian mempelai wanita akan mencium tangan mempelai pria sebagai bukti bahwa mempelai wanita akan berbakti sebagai seorang istri buat suami dan keluarganya kelak. Prosesi ini biasanya dipandu oleh seseorang yang dituakan dan dihormati dalam masyarakat.

Setelah semua prosesi diatas, kedua mempelai akan diarak keliling desa. Prosesi ini disebut dengan Marola, prosesi ini bertujuan untuk memberitahukan pada semua warga desa bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi sepasang suami istri. Iring-iringan kedua mempelai ini akan berangkat dari rumah mempelai wanita sambil menyusuri jalan desa menuju rumah mempelai pria. prosesi ini disebut Lao Mammatua, maksud dari prosesi ini adalah memperkenalkan mempelai wanita pada semua anggota keluarga mempelai pria. Kemudian kedua mempelai akan diarak kembali oleh iring-iringan pengantar menuju rumah mempelai wanita, biasanya iring-iringan ini akan singgah di rumah guru mengaji dan rumah sanak famili kedua mempelai selama dalam perjalanan kembali ke rumah mempelai wanita. Malam harinya akan diadakan resepsi atau walimah pernikahan, yang dihadiri oleh semua warga desa. Setelah semua prosesi selesai, kedua mempelai belum bisa tidur bersama. Masih ada beberapa prosesi yang harus dilakukan. Dua sampai empat hari mempelai wanita akan tinggal sementara di rumah mempelai pria, sedangkan mempelai pria tinggal di rumah mempelai wanita. selama waktu itu mempelai pria hanya diperbolehkan menemui mempelai wanita jika siang hari itu juga dengan pengawasan dari kerabat mempelai pria. Jika tiba waktu mempelai wanita kembali ke rumahnya, maka akan diadakan prosesi Makkaé Botting. Prosesi ini adalah menjemput mempelai wanita kembali dari rumah mempelai pria. Pada saat inilah kedua mempelai baru bisa dikatakan resmi telah menjadi sepasang suami istri. Dewasa ini, prosesi-prosesi diatas sudah banyak yang ditiadakan seperti prosesi Mappacci dan Makkaé Botting. Prosesi ini biasanya sekarang hanya dilakukan oleh keluarga yang berkecukupan, disebabkan Prosesi ini banyak memakan biaya. Orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin sebenarnya masih mempertahankan tradisi ini, tetapi karena ekonomi yang sulit dan prosesi ini memerlukan biaya yang besar, maka sedikit demi sedikit tradisi ini mulai memudar. Sebuah prosesi perkawinan yang biasanya memerlukan waktu minimal dua minggu, kini diringkas menjadi lima sampai enam hari saja. Otomatis banyak prosesi yang ditiadakan dan biasanya diganti dengan prosesi yang bisa memasukkan income. Seperti pada prosesi tokal mesà, resepsi yang dilakukan hanya untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan selama proses perkawinan dari sumbangan yang diberikan oleh para tamu undangan. Sama halnya pada prosesi màbembeng.

Dalam sebuah prosesi perkawinan yang telah dijelaskan di atas, dua keluarga besar berarti telah sepakat untuk melakukan perkawinan putra-putri mereka. Prosesi perkawinan yang diadakan secara besar-besaran akan menjaga nama baik semua keluarga kedua mempelai. Orang-orang Bugis menjunjung tinggi Siríq atau kehormatan. Jika seorang anggota keluarga melakukan kesalahan atau aib yang memalukan keluarga terjadi, maka keluarga itu akan kehilangan Siríq dan akan menjadi cemoohan atau omongan warga. Dalam hal perkawinan, Siríq ini sangat dijaga karena jika sebuah keluarga atau seorang anggota keluarga melakukan suatu aib yang berhubungan dengan perkawinan, keluarga itu akan dianggap bukan saja telah menghilangkan Siríq keluarga besarnya tetapi bisa juga dianggap membuat aib bagi seluruh warga desa. Semua etnis di nusantara ini akan berpendapat sama. Pertama jika seorang gadis hamil diluar nikah maka akan dianggap sebagai pembawa aib yang sangat memalukan baik oleh keluarga besarnya maupun oleh warga desa tempat gadis itu tinggal. Orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin sangat menjaga Siríq, sebuah keluarga akan mengucilkan anak gadis mereka dari lingkungan keluarganya atau bahkan tidak mengakui lagi anak gadis mereka sebagai anggota keluarga jika hamil di luar nikah. Walaupun keluarga dan pemuda yang telah menghamili anak gadis mereka mau bertanggung jawab untuk menikahi. Bahkan terkadang akan terjadi perseteruan abadi antara kedua pihak keluarga. Aib ini akan dbebankan pada si gadis dan dianggap sebagai dosa yang tidak termaafkan. Bahkan jika sampai si gadis melahirkan sebelum dinikahi, anak hasil perbuatan aibnya ini dicap sebagai anak haram. Beberapa orang beranggapan bahwa anak hasil dari hamil diluar nikah ini akan membatalkan wudhu jika disentuh. Anggapan ini sangat menyakitkan, tetapi ini merupakan salah satu pendidikan moral yang cukup efektif bagi orang-orang Bugis dalam menjaga Siríq atau kehormatan diri dan keluarga.

Hal kedua yang bisa menghilangkan Sirí atau kehormatan keluarga karena sebuah perkawinan adalah kawin lari. Sepasang remaja yang melakukan kawin lari atau orang-orang Bugis menyebutnya dengan Silariang, akan dianggap telah menghilangkan Siríq keluarga mereka masing-masing. Di kasus ini tetap keluarga perempuanlah yang sangat kehilangan Siríq-nya dimata warga desa. Seperti kasus hamil diluar nikah diatas, semua warga akan beranggapan bahwa keluarga si gadis tidak mampu menjaga anak perempuan mereka.



BAB IV
MITOS DAN LARANGAN
Salah satu cara pendidikan moral dan etika orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin untuk anak-anak mereka adalah dengan menceritakan sebuah mitos yang harus dilakukan dan memberikan pantangan atau larangan yang dianggap tabu dilakukan. Cara ini oleh orang-orang Bugis di anggap sangat efektif dalam mendidik anak-anak dibandingkan dengan pendidikan moral dan etika yang di dapat dari sekolah manapun. Pada jaman dahulu ketika menanak nasi masih menggunakan cara tradisional, pasti akan tersisa kerak nasi di dalam periuk. Kerak nasi ini akan direndam air hingga melunak dan dipercaya jika memakan kerak nasi ini akan membuat rambut menjadi subur dan hitam berkilau. Karena mitos ini, biasanya anak-anak akan berebut untuk memakan kerak nasi ini dan berharap rambut mereka akan tumbuh subur dan hitam berkilau. Sebenarnya memakan kerak nasi sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesuburan rambut, tetapi dengan mitos tersebut kerak nasi yang tidak dapat dimakan bisa habis daripada mubazir terbuang. Ada juga mitos yang mengatakan bahwa jika selesai makan maka sebaiknya minum dengan memakai piring yang telah digunakan untuk makan supaya cepat dapat jodoh. Memang tidak masuk akal, tetapi jika kita lihat mitos ini sebenarnya hanya mengajarkan jika setelah selesai makan, maka piring yang telah digunakan harus segera dicuci. Dengan menggunakan piring bekas makan sebagai wadah untuk minum, otomatis piring dengan sendirinya akan dicuci bersih. Jika sedang makan, piring yang digunakan tidak boleh sambil di pegang atau di taruh diatas telapak tangan karena dianggap tabu dan akan berakibat jika kelak setelah berkeluarga bisa menjadi boros dan tidak bisa menghidupi keluarga. Tidak boleh minum dengan menggunakan tutup teko atau cerat air minum, dianggap tabu karena nanti bisa membuat si pelaku jadi Fassampo Sirì atau penutup aib orang lain, contohnya menikahi seorang gadis yang hamil di luar nikah yang bukan dari hasil perbuatannya. Tidak baik seorang anak gadis duduk di ambang pintu karena akan berakibat jauh dari jodoh, tidak baik seorang anak gadis duduk sambil bertopang dagu karena akan membawa sial dan jauh dari rejeki, seorang gadis tidak boleh bangun kesiangan karena akan membuat jodohnya akan lama datang.



BAB V
KEHIDUPAN SOSIAL DAN EKONOMI
Mayoritas etnis yang ada di Desa Labuhan Mapin adalah keturunan Bugis-Makassar yang mendiami wilayah utara desa ini, selebihnya adalah etnis keturunan Mandar, Bira, Makassar dan Bajo. dan ada beberapa etnis keturunan Jawa, Sasak atau Lombok, Madura, dan keturunan Arab. Kehidupan sosial orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin sebenarnya sangat kompleks karena asimilasi budaya yang terdiri dari berbagai etnis. Dalam berinteraksi dengan etnis lain orang Bugis di Desa Labuhan Mapin dituntut harus bisa memahami semua budaya yang ada di Desa Labuhan Mapin. Pada dasarnya di Desa Labuhan Mapin terjadi pengelompokan etnis yang terbentuk dari adanya pembagian beberapa Dusun. Pada umumnya di Indonesia sistem kekerabatan atau faktor keturunan masih sangat kental, dan di Desa Labuhan Mapin terlihat dengan adanya dusun-dusun ini. Orang-orang Selayar tinggal dalam dusun yang terdiri dari mayoritas bilateral etnis mereka, begitu juga dengan orang-orang Bugis dan etnis-etnis lainnya. Di Desa Labuhan Mapin, orang-orang Bugis tinggal dalam dusun yang terdiri dari kekerabatan besar satu keturunan, mayoritas orang-orang Bugis yang ada di dusun Bugis Desa Labuhan Mapin masih saling berhubungan darah.
Di Indonesia pada beberapa etnis seperti Batak, Gayo, Dayak, Minangkabau, Toraja, Sangihe, Papua, Kei dan lain sebagainya, sejumlah keluarga rumah tangga yang saling rapat kekerabatannya masih tinggal bersama dalam sebuah rumah besar atau sebuah komunitas lingkungan dalam satu garis hubungan ayah (patrilineal) dan dari garis hubungan ibu (matrilineal). [Dr H. TH. Fischer, Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia, Cetakan keenam, tahun 1953, bab VI, hal.78-81]. Jadi, fungsi dusun di Desa Labuhan Mapin adalah sebagai rumah besar atau komunitas lingkungan. Seperti yang telah disinggung dalam bab II semua etnis yang ada di Desa Labuhan Mapin dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa masing-masing jika berinteraksi dengan sesama anggota dusun, hal inilah yang sering membuat sebuah benturan antar anggota dusun yang berlainan etnik ini, terkadang masing-masing etnik merasa adalah yang terbaik. Akan tetapi benturan ini tidak sampai membuat kehidupan sosial diantara etnik yang berlainan di Desa Labuhan Mapin tidak berjalan sebagaimana mestinya. Orang-orang Bugis dan Selayar adalah etnik terbesar yang ada di Desa Labuhan Mapin.
Mata pencaharian mayoritas orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin adalah pelaut dan nelayan, pekerjaan ini..



BAB VI
J I W A D A N R O H
Jiwa oleh orang-orang bugis disebut dengan Sumangè, jiwa sangat penting untuk dijaga. Karena tanpa Sumangè seseorang tidak akan bisa maksimal dalam menjalani kehidupannya. Jiwa seseorang dimulai ketika terlahir ke dunia, dimana selama sembilan bulan sebelumnya berada dalam kandungan yang gelap. Selama berada dalam kandungan inilah janin mendapat suplai makanan melalui tali pusar atau ari-ari, dalam bahasa bugis ari-ari ini disebut dengan Erug'. Erung atau ari-ari seorang bayi yang baru dilahirkan akan langsung dimasukkan kedalam sebuah wadah yang dicampur abu dapur dan garam segera setelah dipotong. Hal ini dilakukan supaya jiwa bayi tidak ada yang mengganggu. Abu dapur dan garam yang dimasukkan bersama ari-ari kedalam wadah, selain untuk menjaga Sumangè juga dipercaya menjadi makanan untuk Erung. Jika seorang anak makan terlalu banyak atau suka ngemil, orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin percaya bahwa Erung atau ari-ari si anak kurang dicampur abu dapur dan garam. Jadi si anak akan terus merasa lapar dan suka makan atau ngemil, karena Erung atau ari-ari yang dipercaya sebagai kembaran si anak sewaktu dalam kandungan merasa lapar juga yang disebabkan kurangnya abu dapur dan garam yang dimusukkan kedalam wadah. 'Erung' atau ari-ari ini oleh orang-orang Bugis Sumbawa sangat berhati-hati dalam menanganinya.oleh sebab itu perkembangan si bayi kelak sangat bergantung bagaimana menangani ari-ari sewaktu baru lahir. Ari-ari seorang bayi lelaki setelah dimasukkan kedalam wadah yang bercampur abu dapur dan garam, akan segera dibuang atau dilarung ke laut setelah si bayi dimandikan. Hal ini dimaksudkan supaya 'Sumangè' atau jiwa si bayi kelak akan menjadi jiwa yang kuat dan mampu menjadi pencari nafkah untuk keluarga. Lain halnya untuk ari-ari seorang bayi perempuan yang tidak dibuang atau dilarung ke laut, ari-ari seorang bayi perempuan akan di tanam di pekarangan rumah, agar kelak si bayi akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang mampu menjaga dan memelihara keluarganya. Sisa ari-ari yang menempel di pusar bayi akan disimpan setelah mengering dan lepas dari pusar bayi. Sisa ari-ari ini akan dijadikan obat bagi si bayi jikat menderita sakit. Sepertinya hal ini sangat mustahil, bagaimana sisa ari-ari yang telah mengering dan dengan cara direndam kedalam air kemudian diminumkan ke bayi dapat menyembuhkan penyakitnya. Sisa ari-ari ini oleh orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin dipercaya menyimpan energi 'Sumangè' yang dapat menyuplai kembali jiwa si bayi dengan 'Sumangè' yang baru jika si bayi sakit. Sisa ari-ari ini dapat dipergunakan sampai si bayi beranjak besar.

Dalam ilmu kedokteran telah ditemukan bukti bahwa ari-ari bayi yang baru dilahirkan mengandung berbagai enzim yang sangat membantu dalam peningkatan metabolisme tubuh. Dewasa ini dunia kedokteran telah membuat Bank yang dapat menyimpan ari-ari bayi yang baru dilahirkan. Ari-ari ini dapat dipergunakan sebagai obat atau antibody untuk berbagai penyakit, dan dapat dipergunakan untuk si bayi kelak atau oleh semua anggota keluarga yang berhubungan darah langsung dengan si bayi. Tradisi ini telah diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Dan saat ini walaupun era modernisasi telah berkembang, orang-orang Bugis yang ada di Desa Labuhan Mapin masih tetap mempertahankan tradisi ini. Karena kebudayaan bangsa kita yang berakar dari warisan budaya animisme, sampai sekarang masih banyak kita temukan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Disini akan kita bahas sebuah pengaruh budaya animisme yang masih sering ditemukan dalam kehidupan keseharian etnis Bugis Sumbawa di Desa Labuhan Mapin Kecamatan Alas Barat Kabupaten Sumbawa.

Jika seseorang sakit dengan tiba-tiba maka dikatakan orang itu telah ditegur dan Sumangè-nya telah ditahan oleh sebuah roh atau penunggu sebuah tempat angker. Keadaan ini oleh orang-orang Bugis Sumbawa disebut 'Ampa-amparanèng', yang membuat Sumangè seseorang terkejut dan sakit yang diakibatkan oleh teguran diatas. Seseorang akan ditegur dan Sumangè-nya akan ditahan sementara oleh roh yang diyakini sebagai roh leluhur dikarenakan orang tersebut telah berbuat sebuah kealpaan seperti tidak menghormati keberadaan roh leluhur dan orang-orang Bugis biasa menyebutnya dengan 'Tamatoa Riolo' atau keluarga si sakit pernah bernazar untuk roh leluhur dan belum menepati nazarnya itu. Seseorang juga akan tiba-tiba mengalami sakit jika mendatangi sebuah tempat angker yang berpenghuni roh halus yang dalam bahasa Bugis disebut 'Fakkondroang' dengan cara yang sembarangan tanpa membawa sesaji atau juga melanggar suatu wilayah yang dianggap pantang didatangi. Hal inilah yang dipercaya membuat roh menjadi marah. Ada juga kasus santet seperti di Jawa dan orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin biasa menyebutnya dengan 'Guna-guna' atau 'Fattikkèng'. Orang yang terkena guna-guna ini berarti telah 'Difakènnai' oleh seseorang yang sedang atau pernah disakiti oleh si sakit atau juga karena cemburu. Dan untuk kesembuhan orang yang tiba-tiba sakit itu, maka akan dipanggil seorang 'Sandro' atau dukun untuk memohon kepada roh leluhur atau roh penunggu sebuah tempat angker yang telah menegur si sakit untuk memaafkan semua kealpaan dan kecerobohan yang telah dilakukan oleh si sakit dan segera memulihkan Sumangè si sakit dari keterkejutannya atau dari gangguan guna-guna. Bagian pertama yang akan dilakukan oleh seorang sandro dalam mengadakan ritual penyembuhan ini adalah 'Mangguji' atau mendeteksi si sakit apakah benar Sumangè atau jiwanya telah Ampa-amparanèng atau telah Difakènnai. Setelah yakin bahwa si sakit memang telah mendapat teguran dari sebuah roh, seorang Sandro akan mulai melakukan tahap pengobatan dengan memberikan 'Jappi-jappi' atau mantera pada si sakit. Biasanya si sakit akan kesurupan oleh roh yang sedang marah atau kelakuannya menjadi berubah dari tenang menjadi gusar atau pemarah atau berkelakuan aneh. Adakalanya si sakit bisa berubah raut muka dan suaranya. Disini seorang Sandro akan menjadi mediator antara si sakit dengan roh yang marah ataupun roh halus yang telah mengganggu. Pada bagian ini kadangkala seorang Sandro akan melakukan komunikasi atau berinteraksi dengan roh yang bersangkutan dalam bahasa yang kadang kita tidak mengerti. Melalui komunikasi atau interaksi ini, biasanya roh akan menjelaskan sebab akibat bagaimana si sakit melakukan sebuah kealpaan atau pelanggaran yang telah diperbuat, ini jika roh yang merasuki si sakit adalah roh leluhur atau roh halus penunggu sebuah tempat angker atau keramat. Keluarga si sakit akan memohon pada Sandro yang diyakini telah berkomunikasi dengan roh, akan kesediaan roh untuk melepaskan si sakit serta mengembalikan sumangè si sakit dan berjanji akan melakukan ritual 'Mappalèppè' jika si sakit diberikan kesembuhan. Ritual Mappalèppè ini biasanya segera dilakukan jika yang bersangkutan sembuh dari sakitnya. Pada umumnya ritual ini dilakukan dengan membawa sesaji ke tempat Sandro yang telah melakukan ritual penyembuhan, tetapi ada juga sebagian masyarakat yang melakukan ritual Mappalèppè ini dengan melarung sesaji ke laut atau membawa sesaji ke tempat-tempat yang diyakini keramat seperti pohon tua dan kuburan, tempat roh yang dimaksud bersemayam. Hal ini dilakukan supaya roh yang bersangkutan tidak mengganggu atau menahan kembali sumangè si sakit. Apabila sakit yang di derita seseorang disebabkan oleh guna-guna atau fattikèng,

Seorang Sandro yang mampu menjadi mediator bagi masyarakat dengan sebuah roh, sangatlah berperan dalam segala hal. Masyarakat Desa Labuhan Mapin masih percaya akan jasa seorang Sandro. Selain pengobatan, seorang Sandro bisa juga dimintai bantuannya untuk memprediksi. Contohnya jika ada seseorang yang mengalami kehilangan atau kemalingan, seorang Sandro bisa membantu 'Disuro mita' dan 'Mapputarà' untuk mendeteksi dimana benda atau barang yang hilang itu berada atau jika kemalingan, seorang Sandro mampu membuat si maling mengembalikan barang yang telah dicurinya dengan ancaman si maling akan mengalami suatu kecelakaan. Pada umumnya seorang Sandro akan memberikan ancaman penyakit yang bisa membuat pelaku pencurian perutnya akan membesar.

Jika seseorang meninggal dipercaya Sumangènya akan tertinggal sementara dirumahnya. Maka apabila jenazahnya sudah dikuburkan, pengantar jenazah dan keluarga terdekat almarhum akan mengambil kerikil atau batu diareal pekuburan untuk dibawa pulang dan digunakan untuk melempar rumah almarhum setibanya di desa. Pelemparan ini dimaksudkan supaya Sumangè almarhum yang tertinggal di rumah segera menyusul ke kuburan agar tidak mengganggu penghuni rumah atau keluarga yang masih hidup. Malam harinya setelah jenazah dikuburkan akan dilakukan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an di rumah untuk menenangkan Sumangè almarhum di alam barzakh dan setelah pembacaan Al-Qur'an selesai biasanya anggota keluarga akan melakukan tebak-tebakan supaya Sumangè almarhum tidak bisa kembali ke rumah karena keriuhan yang terjadi karena akibat dari tebak-tebakan ini. Pada dasarnya tebak-tebakan ini dilakukan hanya untuk menghibur anggota keluarga yang sedang bersedih karena ditinggal.

Di Desa Labuhan Mapin saat ini masih banyak orang-orang Bugis yang percaya akan keberadaan roh. Dan roh ini dipercaya bisa mendatangkan kebaikan dan juga bisa mendatangkan malapetaka. Adapun roh yang bisa mendatangkan kebaikan adalah roh-roh leluhur yang sewaktu hidupnya merupakan orang-orang yang mempunyai kekuatan atau kharisma. Adapun roh yang mendatangkan malapetaka adalah roh-roh yang dipercaya memiliki hubungan dengan setan atau roh orang yang semasa hidupnya selalu melakukan kejahatan atau mempunyai hubungan dengan setan seperti seorang tukang sihir atau orang yang menganut sebuah ilmu hitam. Dalam kepercayaan orang-orang Bugis ada banyak roh-roh yang seperti 'Farakang', kata ini dalam etnis Bugis adalah seseorang yang menganut ilmu hitam yang suka 'memakan' korban yang sedang sakit atau wanita hamil dan bayi. Farakang atau di Bali disebut Leak adalah sejenis ilmu hitam yang sangat jahat. Dimana Sumangè pelakunya yang telah berkolaborasi dengan setan akan mengalami fase entrance yang bisa membuat pelakunya tidak sadar akan apa yang dilakukan dan konon bisa berubah wujud menjadi seekor binatang. Ilmu hitam ini konon didapatkan pelakunya tanpa sadar, dan ada banyak motif tentang bagaimana seseorang bisa menjadi Farakang. Motif pertama adalah pesugihan, karena ingin menambah kekayaan atau memajukan sebuah usaha. Motif kedua adalah pengasihan, karena ingin terlihat oleh orang lain sebagai pribadi yang sangat sempurna. Dan yang terakhir motifnya adalah keturunan, kabarnya orang yang menganut ilmu Farakang ini akan susah jika menghadapi sakaratul maut jika belum menurunkan ilmunya pada salah seorang keturunannya. Karena malaikat pencabut nyawa enggan mengambil Sumangè-nya yang masih diboncengi oleh setan. Dengan beberapa motif diatas sebenarnya seseorang sadar dengan konsekuensi yang akan ditimbulkan dari apa yang mereka lakukan, tetapi jika nurani telah dikalahkan oleh hawa nafsu semuanya akan tampak berbeda. Selain Farakang ada lagi ilmu hitam yang bisa membuat Sumangè seseorang bisa dipengaruhi oleh setan yaitu 'Fattiro Kanjà'. Jenis ilmu hitam ini hampir sama dengan jenis ilmu Farakang, yang membedakan hanya cara mendapatkan ilmu ini saja. Jika dalam ilmu farakang, seseorang terkadang tidak menyadari telah menerima ilmu hitam tersebut. Sedangkan dalam ilmu Fattiro Kanjà, seseorang harus benar-benar mendalami ilmu ini. Pada dasarnya ilmu hitam jenis ini, khusus untuk pesugihan dan memerlukan sebuah tumbal. Orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin beranggapan jika seseorang tiba-tiba meningkat, contohnya sebuah usaha dagang, hasil tangkapan laut, atau hasil kebunnya dan tiba-tiba ada anggota keluarganya yang meninggal secara tidak wajar. Maka orang ini akan dianggap telah mengamalkan ilmu Fattiro Kanjà. Dalam ilmu Farakang, penganut ilmu bisa merugikan orang lain dengan jalan 'memakan' korbannya, tetapi Fattiro Kanjà tidak demikian. Ilmu ini hanya membutuhkan tumbal dari keluarga penganut ilmu ini sendiri.

Orang-orang Bugis di Desa Labuhan Mapin banyak terpengaruh oleh budaya etnik Sumbawa dalam hal menjelaskan berbagai jenis penyakit. Dalam hal ini jasa seorang sandro seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya sangat diperlukan. Akan tetapi fungsi sandro pada bab ini hanya bersifat jasmaniah dan tidak bersifat spiritual atau bersifat gaib. Sandro disini berfungsi seperti seorang tabib yang bertugas menyembuhkan sakit fisik dengan menggunakan obat-obatan tradisional atau juga dengan menggunakan keahlian yang telah diwariskan turun temurun. Ada banyak jenis penyakit yang bisa diobati tanpa harus menggunakan pengobatan modern. Salah satu contohnya adalah 'Nyaru' nama penyakit ini diambil dari bahasa Sumbawa, orang-orang Bugis yang ada di Sulawesi Selatan penyakit ini disebut dengan 'Arahusèng' atau 'Faddahu'. Penyebab penyakit ini adalah pembekuan otot dan pembuluh darah kecil akibat tegang atau karena badan terlalu lelah. Penyakit ini akan menyebabkan anggota tubuh tertentu seseorang menjadi kaku dan sakit jika digerakkan. Seorang sandro akan selalu mendeteksi penyakit yang diderita seorang pasien untuk memastikan penyakit apa yang diderita oleh pasien. Dalam mengobati Nyaru ini seorang sandro akan mendeteksi penyakit ini dengan menggunakan sehelai daun sirih atau jika tidak ada daun sirih, seorang sandro biasa menggunakan daun buah Sirsak Belanda. Daun sirih atau daun buah sirsak Belanda ini dipilih yang masih muda, kemudian diusapkan perlahan pada anggota badan yang sakit. Jika dalam pengusapan daun sirih atau daun sirsak Belanda ini tersendat dan jika dipaksakan untuk diusapkan pada anggota badan yang sakit maka kedua jenis daun tersebut menjadi sobek, maka dipastikan si sakit menderita Nyaru. Untuk mengobatinya seorang dukun atau sandro akan meramu obat yang terdiri dari daun sirih yang masih muda satu atau dua helai tergantung dari banyaknya anggota badan yang sakit, gambir, buah pinang dan kapur sirih. Campuran gambir, buah pinang dan kapur sirih ini dibungkus menggunakan daun sirih, kemudian dikunyah oleh sandro atau seseorang. Setelah ramuan ini lumat oleh kunyahan, ramuan ini langsung disemburkan pada anggota badan yang sakit. Apabila ramuan diatas tidak ada, penyakit Nyaru ini bisa diobati hanya dengan menggunakan coretan-coretan pada anggota badan yang sakit dengan menggunakan kapur sirih. Orang yang menderita Nyaru ini biasanya dilarang mandi dengan menggunakan air dingin, karena bisa mengkibatkan 'Natèndrè nyaru' atau Nyaru ini akan tetap bertahan pada anggota badan yang sakit dan menjadi akut.

Jika melihat cara pengobatan diatas yang agak kotor atau mungkin terlihat jorok karena ramuan yang dikunyah dan kemudian disemburkan langsung melalui mulut seorang sandro, pasti seseorang yang menderita Nyaru ini akan enggan diobati dengan cara tersebut dan memilih cara pengobatan kedua yang menggunakan media coretan kapur sirih. Akan tetapi cara ini dianggap kurang manjur, karena seorang sandro yang dianggap mempunyai kekuatan

8 komentar:

  1. tulisan ini bagus sekali sebagai referensi mengenal budaya kita yang luar biasa sangat luhur ini ....
    sayang jaman sekarang tidak banyak orang tua yang mewanti-wanti anaknya dengan laranngan -larangan khas seperti "jangan bgini nanti kamu jadi ini... dll.. " yang sebenarnya tujuannya sangat baik ...

    nice posting.. salam kenal

    www.aderafiansyah.blogspot.com

    BalasHapus
  2. saya kagum membaca kisah kehidupan masyarakat dusun bugis di desa labuhan mapin
























    BalasHapus
  3. lanjutannya maaf ya20 Januari 2013 pukul 21.26

    oh ya kebetulan saya juga anak muda dari mallinoe yg berlayar di gresik klm nusa harapan nhakodanya bernama ato' bade'

    BalasHapus
  4. saya suka membaca kisah dan kehidupan masyarakat desa labuhan mapin khususnya dusun bugis kebetulan saya juga pelayar dari dusun bugis labuhan mapin berlayar di jurusan gresik samarinda di klm nusa harapan kepx bernama ato bade'

    BalasHapus
  5. Luar biasa tulisannya yg mengupas budaya bugis,bagi saya sebagai pembaca ,seakan akan tulisan ini bagikan layar video yg memutar budaya bugis ,persis yg dilakukan oleh keluarga besar saya di cappa galung ,bacukiki ,pare pare.

    BalasHapus
  6. Antoni Lamini ,anak ogi pare pare di negeri rantau kalimantan timur

    BalasHapus
  7. Antoni Lamini ,anak ogi pare pare di negeri rantau kalimantan timur

    BalasHapus
  8. Luar biasa tulisannya yg mengupas budaya bugis,bagi saya sebagai pembaca ,seakan akan tulisan ini bagikan layar video yg memutar budaya bugis ,persis yg dilakukan oleh keluarga besar saya di cappa galung ,bacukiki ,pare pare.

    BalasHapus